BGN Buka Opsi – Dalam langkah yang mengejutkan banyak pihak, BGN (Bangga Generasi Nusantara) membuka wacana untuk menjadikan kantin-kantin sekolah sebagai dapur produksi bagi merek makanan MBG (Makan Bareng Generasi). Wacana ini bukan sekadar wacana iseng belaka. Melalui berbagai forum resmi dan di skusi publik, BGN tampak serius mengusulkan integrasi dapur sekolah dengan lini bisnis makanan mereka.
Pertanyaannya sekarang, ini inovasi atau manipulasi? Apakah ini langkah cerdas memanfaatkan aset sekolah yang tak terpakai maksimal, atau justru bentuk lain dari komersialisasi ruang pendidikan yang di bungkus dengan jargon “pemberdayaan”?
Narasi Pemberdayaan atau Penguasaan?
BGN berdalih bahwa program ini akan memberdayakan sekolah, guru, bahkan orang tua murid. Dengan menjadikan kantin sebagai dapur MBG, mereka mengklaim dapat memberikan pemasukan tambahan untuk sekolah dan menciptakan lapangan kerja. Tapi tunggu dulu. Di balik narasi mulus itu, ada yang terasa janggal.
Siapa yang sebenarnya akan mengontrol operasionalnya? Apakah sekolah punya kuasa penuh, atau hanya jadi penyedia ruang? Apakah produk yang di hasilkan akan di sesuaikan dengan kebutuhan gizi anak-anak, atau sekadar mengejar target penjualan? Tak ada yang bisa menjamin transparansi di tengah kabut manajemen bisnis yang rumit.
Kantin Sekolah: Ruang Edukasi atau Mesin Produksi?
Selama ini, kantin sekolah seharusnya menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran. Tempat anak-anak belajar memilih makanan sehat, mengenal budaya makan yang baik, bahkan belajar nilai ekonomi secara sederhana. Jika peran ini di ambil alih oleh dapur bisnis, apalagi dengan merek yang membawa misi profit, apa yang tersisa dari fungsi edukatif itu?
Bayangkan saja, anak-anak tak lagi membeli dari penjual lokal yang sudah akrab, tapi dari sistem korporasi yang di kemas rapi. Suasana kekeluargaan berganti menjadi struktur bisnis. Interaksi sosial jadi transaksional. Di sinilah letak bahayanya.
Baca juga: https://bambuddhalife.com/
Masa Depan Kantin: Dimiliki Siapa?
BGN harus menjawab banyak pertanyaan sebelum bergerak lebih jauh. Apakah sekolah hanya akan jadi bagian dari rantai distribusi mereka? Apakah pemasukan benar-benar adil di bagi? Dan, yang paling penting: Apakah hak anak-anak untuk menikmati lingkungan belajar yang sehat dan manusiawi tetap di jaga?
Masyarakat berhak curiga. Ketika dunia pendidikan mulai di lirik sebagai lahan bisnis, alarm harus di nyalakan. Jangan sampai demi dalih inovasi, kita menyerahkan ruang-ruang suci pendidikan kepada kepentingan pasar.
Karena jika tak di kawal, dapur MBG bisa saja jadi simbol bagaimana sistem pendidikan kita digerus pelan-pelan oleh kapitalisme yang lihai menyamar.