Guru Besar UNS Tolak Kebijakan Menkes, Sampaikan 6 Poin Ini

Guru Besar UNS

Guru Besar UNS – Langkah mengejutkan datang dari lingkungan akademik. Seorang guru besar dari Universitas Sebelas Maret (UNS) menyatakan penolakannya secara terbuka terhadap kebijakan terbaru Menteri Kesehatan. Bukan sekadar kritik biasa, penolakan ini di kemas dengan enam poin tajam yang membuka mata publik. Dalam dunia akademik yang cenderung hati-hati, pernyataan seperti ini bukan hal lumrah. Ini bentuk keberanian.

Sikap keras ini bukan tanpa alasan. Sang guru besar menilai kebijakan tersebut berpotensi merusak tatanan sistem kesehatan nasional yang selama ini dibangun dengan susah payah. Ada aroma ketergesaan, ketidakterbukaan, hingga potensi konflik kepentingan yang mengusik nurani ilmuwan.


Poin Pertama: Privatisasi Terselubung

Poin pembuka langsung menghantam. Menurut sang akademisi, kebijakan Menkes membawa sinyal kuat menuju privatisasi layanan kesehatan. Melalui berbagai regulasi dan skema baru, ada indikasi keterlibatan swasta akan semakin mendominasi, menggusur fungsi pelayanan publik. Ini bukan reformasi, katanya, melainkan langkah mundur yang mengabaikan esensi kesehatan sebagai hak dasar warga negara.

Baca juga : 1 Juta Guru Akan Dilatih Coding hingga AI


Poin Kedua: Minimnya Partisipasi Publik

Poin kedua menyoroti proses pengambilan kebijakan yang di anggap tidak partisipatif. Dalam sistem demokrasi, penyusunan kebijakan nasional seharusnya melibatkan suara publik, terlebih dalam isu strategis seperti kesehatan. Tapi kali ini, suara masyarakat sipil, organisasi profesi, hingga kampus, nyaris tak terdengar. Semuanya di putuskan dari atas, tanpa ruang dialog yang sehat. Sang guru besar menyebutnya sebagai bentuk “arogansi struktural”.


Poin Ketiga: Ancaman pada Profesi Medis

Kebijakan ini di nilai melemahkan independensi dan profesionalisme tenaga medis. Ada kecenderungan birokratisasi berlebihan yang mengatur hingga ke hal teknis pelayanan. Bahkan, beberapa regulasi baru berpotensi menurunkan standar etika dan moral profesi. Guru besar ini menyuarakan kekhawatiran: “Apakah ini sistem kesehatan atau sistem kontrol politik atas dokter?”


Poin Keempat: Krisis Kepercayaan Terhadap Sistem Kesehatan

Dalam poin keempat, di sorot bagaimana kebijakan ini bisa memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Alih-alih meningkatkan kualitas dan aksesibilitas, kebijakan ini justru menyulitkan rumah sakit daerah dan fasilitas layanan primer. Beberapa aturan mempersulit alur pengadaan alat medis, perekrutan SDM, dan distribusi obat. Bukannya merapikan sistem, justru menjerumuskan ke dalam kekacauan administratif.


Poin Kelima: Ketimpangan Kian Melebar

Ketimpangan antara kota dan desa, pusat dan daerah, rumah sakit besar dan kecil, menjadi semakin mencolok dengan kebijakan ini. Pendekatan “satu sistem untuk semua” yang di paksakan pusat tak mengakomodasi realitas lapangan. Guru besar itu dengan tegas menyebut: “Yang di untungkan hanya segelintir rumah sakit elite, sementara puskesmas dan klinik rakyat di gilas kebijakan yang tidak ramah terhadap keterbatasan.”


Poin Keenam: Bahaya Komersialisasi Kesehatan

Poin penutup sekaligus yang paling tajam adalah tuduhan bahwa kebijakan ini membuka celah besar untuk komersialisasi kesehatan. Dengan membuka akses luas bagi investasi asing, peluang industri kesehatan di jadikan lahan bisnis semakin terbuka lebar. Ini bukan lagi soal pelayanan publik, melainkan soal untung dan rugi. Kesehatan bukan barang dagangan, serunya, tapi kini terlihat seperti itu di mata pembuat kebijakan.


Pernyataan ini mengguncang. Tidak hanya karena isi kritiknya, tapi karena datang dari dunia akademik yang kerap di pandang steril dari dinamika politik dan ekonomi. Tapi kali ini, seorang guru besar dari UNS memilih berdiri, melawan, dan menyuarakan enam poin tajam demi menjaga marwah kesehatan rakyat Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version