Pendidikan di Indonesia – Sudah jadi rahasia umum, setiap kali kursi Menteri Pendidikan berganti, maka kebijakan pendidikan juga ikut di rombak total. Seakan-akan sistem pendidikan adalah mainan, dan anak-anak Indonesia adalah kelinci percobaan yang tak punya daya. Bayangkan, dalam satu dekade saja, kurikulum berubah lebih dari tiga kali. Dari KTSP, ke Kurikulum 2013, lalu merambah ke Kurikulum Merdeka. Dan setiap perubahan selalu di kemas dengan jargon manis: “demi kemajuan bangsa”, “pendidikan berbasis karakter”, atau “menyiapkan generasi emas”. Tapi hasil nyatanya? Anak-anak kebingungan, guru kelimpungan, dan orang tua frustrasi.
Kebijakan Setengah Matang: Siapa yang Tanggung Jawab?
Masalahnya bukan sekadar perubahan kurikulum, tapi bagaimana perubahan itu di lakukan tanpa kajian matang, tanpa uji coba cukup, bahkan tanpa evaluasi menyeluruh dari kebijakan sebelumnya. Begitu kursi menteri berpindah, semua yang lama di anggap gagal. Lalu, masuk kebijakan baru yang justru menumpuk pekerjaan rumah. Guru-guru di paksa beradaptasi cepat dengan sistem baru, seringkali tanpa pelatihan memadai. Siswa menjadi korban perubahan sistem yang belum tentu lebih baik dari yang sebelumnya https://bambuddhalife.com/.
Padahal, pendidikan adalah proyek jangka panjang. Hasilnya baru bisa di lihat dalam puluhan tahun. Tapi yang terjadi justru kebijakan berganti hanya untuk memenuhi ambisi pribadi atau citra politik jangka pendek. Tidak sedikit kebijakan yang hanya ingin mencetak “warisan” si menteri, tanpa benar-benar memikirkan dampaknya pada anak-anak yang menjadi subjek utama.
Anak Kehilangan Arah, Guru Kehilangan Pegangan
Coba bayangkan bagaimana rasanya jadi pelajar yang harus menyesuaikan diri tiap kali kebijakan baru muncul. Materi berubah, cara belajar berubah, sistem penilaian berubah. Anak-anak bukan lagi belajar untuk memahami, tapi hanya mengikuti perintah sistem yang terus berubah arah. Mereka bukan belajar dengan tujuan jangka panjang, tapi hanya mengejar nilai dan kelulusan berdasarkan aturan baru yang bahkan guru pun belum tentu paham sepenuhnya.
Di sisi lain, guru juga tidak diberi cukup waktu dan dukungan untuk adaptasi. Mereka dituntut cepat belajar sistem baru, mengatur ulang metode mengajar, bahkan membuat ulang administrasi pembelajaran yang tak sedikit. Ujung-ujungnya, yang di korbankan adalah kualitas belajar-mengajar itu sendiri.
Baca juga artikel kami yang lainnya: Cara Cek NISN buat Pencairan Dana PIP 2025
Sampai Kapan Anak Dijadikan Korban Ambisi?
Kapan negara ini bisa punya sistem pendidikan yang berkelanjutan, konsisten, dan fokus pada kebutuhan peserta didik, bukan ambisi pejabat? Pendidikan semestinya jadi jalan memanusiakan manusia, bukan eksperimen politik tiap ganti pemimpin. Anak-anak bukan papan catur, bukan kelinci percobaan. Mereka adalah masa depan bangsa, yang pantas mendapatkan sistem pendidikan terbaik — bukan yang terus berubah hanya karena ganti orang di kursi kekuasaan.