Alasan Ratusan Siswa – Apa jadinya jika ratusan siswa dinyatakan lolos masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), tapi ternyata tak bisa membaca? Kedengarannya mustahil, tapi inilah kenyataan yang terjadi di Buleleng. Data dari Dinas Pendidikan setempat mengungkap bahwa banyak siswa yang melenggang ke jenjang SMP tanpa kemampuan literasi dasar. Ini bukan hanya mencengangkan, tapi juga memprihatinkan.
Bagaimana bisa mereka dinyatakan lulus SD dan diterima di SMP tanpa bisa membaca? Apakah sistem kita sedang sangat toleran, atau justru sedang berada dalam kondisi kritis?
Sistem Pendidikan yang Terjebak Formalitas
Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah sistem pendidikan yang terlalu fokus pada formalitas administrasi daripada kualitas pendidikan itu sendiri. Banyak sekolah dasar yang mengejar angka kelulusan tanpa mempertimbangkan kompetensi riil siswa. Asalkan hadir, mengikuti ujian, dan di nyatakan lulus secara administratif, maka siswa di anggap “layak” naik tingkat.
Baca juga : Pendidikan di Indonesia: Ajang Coba-Coba Para Penguasa
Masalah ini makin parah ketika evaluasi belajar hanya sebatas angka rapor dan ujian akhir, bukan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Akibatnya, kemampuan dasar siswa di kesampingkan demi mengejar target kelulusan yang tinggi.
Guru pun sering kali berada dalam tekanan untuk “meluluskan semua”, apalagi bila ada tekanan dari kepala sekolah atau orang tua siswa. Maka tak heran, ratusan siswa yang belum bisa membaca tetap naik kelas dan akhirnya masuk SMP.
Zonasi yang Tak Melihat Kompetensi
Sistem zonasi yang di berlakukan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) juga menjadi bagian dari masalah. Tujuan awal zonasi adalah pemerataan akses pendidikan, tapi dalam praktiknya, sistem ini justru membuka jalan bagi siswa tanpa kompetensi masuk ke sekolah menengah.
Zonasi menitikberatkan pada jarak tempat tinggal, bukan kemampuan siswa. Maka, siapa pun yang tinggal dekat sekolah, meski belum bisa membaca sekalipun, tetap memiliki peluang besar di terima. Kriteria seleksi yang longgar ini membuat sekolah tak punya pilihan selain menerima siswa berdasarkan lokasi, bukan kualitas.
Ketika PPDB hanya mempertimbangkan titik koordinat rumah, sistem seleksi menjadi tidak relevan dengan kemampuan akademik siswa. Ini memperlihatkan bahwa sistem pendidikan nasional sedang abai terhadap kualitas, dan lebih sibuk mengatur peta wilayah.
Kesenjangan Kualitas Pendidikan Dasar
Di daerah seperti Buleleng, tak bisa di mungkiri bahwa kesenjangan pendidikan masih sangat lebar. Banyak SD di daerah pelosok kekurangan tenaga pengajar berkualitas, kekurangan fasilitas belajar, dan tak punya program remedial yang memadai.
Siswa dari latar belakang keluarga miskin atau kurang pendidikan seringkali tidak mendapat dukungan belajar di rumah. Mereka datang ke sekolah hanya untuk duduk di kelas, tanpa pemahaman yang mendalam tentang materi. Ketika guru tak punya waktu cukup untuk membimbing secara personal, kemampuan dasar seperti membaca menjadi terabaikan.
Lebih parahnya, tidak semua guru terlatih untuk menangani siswa dengan kebutuhan belajar khusus. Alih-alih diberi perhatian lebih, siswa yang tertinggal justru ikut arus, di luluskan begitu saja, lalu masuk ke jenjang berikutnya dengan beban yang lebih berat.
Tekanan Sosial dan Budaya “Naik Kelas”
Di banyak daerah, termasuk Buleleng, ada norma sosial yang menekan sekolah agar semua siswa “naik kelas” tanpa kecuali. Meluluskan siswa di anggap sebagai pencapaian, sementara menahan siswa di anggap sebagai kegagalan guru atau sekolah. Budaya semacam ini menyebabkan guru dan kepala sekolah enggan mengambil langkah tegas terhadap siswa yang belum siap naik kelas.
Orang tua pun seringkali tidak menerima bila anaknya tak naik kelas. Mereka lebih fokus pada “status” daripada kemampuan. Akibatnya, sekolah mengambil jalan pintas: luluskan semua siswa, meski belum siap, demi menghindari konflik.
Dan inilah hasilnya—ratusan siswa di terima di SMP dengan kemampuan membaca yang sangat minim. Sebuah bom waktu pendidikan yang bisa meledak kapan saja.